1.
Taoisme
Taoisme merupakan ajaran yang dibawa oleh Laozi. Taoisme berasal dari
kata Dao yang artinya tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses
kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda yang ada dialam semesta.
Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan
bersifat abadi. Keabadian manusia terwujud disaat seseorang mencapai kesadaran
Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa. Penganut-penganut Taoisme
mempraktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan menjadi seorang dewa.
Ajaran ini berdasarkan pada ajaran Daode Jing. Pengikut Laozi yang terkenal
adalah Zhuangzi. Yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi.
Menurut kitab Shiji nama asli Laozi adalah Lier, nama sopannya Boyang dan nama almarhum
kehormatannya Dan. Terdapat segolongan sarjana mengatakan Boyang dan Dan adalah
nama sopan Laozi. Laozi (SM570~SM470), dilahirkan di provinsi Ku, Chuguo,
sekarang dikenali Provinsi Henan. Ia merupakan ketua pustakawan Chuguo, Dinasti
Zhou, masa kejawatan, beliau banyak mendapat manfaat dengan membaca kitab-kitab
serta catatan-catatan historis, sehingga beliau mencapai keinsafan wawasan.
Pada era sekarang ini, agama Dao merupakan ajaran-ajaran Laozi-Zhuangzi
yang berkembang menjadi agama yang memiliki banyak penganut. Agama Dao memiliki
doktrin mistis yang berisikan kepercayaan untuk menjadi dewa, agama ini lebih
bersifat kemanusiaan, dan berpotensi memenuhi keperluan rohaniah manusia.
Ajaran ini juga mengajarkan dan memperkenalkan teori Yin Yang. Yin Yang
merupakan suatu teori yang menjelaskan bahwa keduanya merupakan dua hal yang
saling melengkapi untuk menghasilkan tenaga atau kekuatan. Kekuatan tersebut
bersumber dari jutaan benda di dunia. Setiap benda di alam semesta yang berupa
benda hidup ataupun benda mati mengandung Yinyang yang saling melengkapi untuk
mencapai keseimbangan. Secara terminologi, Yin dan Yang diterjemahkan sebagai
negatif dan positif. Setiap benda bersifat dualisme yang terdiri dari unsur
positif dan unsur negatif. Benda yang tidak memiliki unsur negatif dan positif,
itu bermakna kosong dan hampa. Seperti halnya magnet, magnet mempunyai unsur
positif dan negatif, kedua-duanya bersifat saling melengkapi. Magnet tanpa
unsur positif, maka tidak terwujudnya unsur negatif. Itu bermakna bahwa magnet
tidak akan terwujud jika tidak memiliki kedua unsur tersebut.
2.
Konfusianisme
Tokoh yang memunculkan ajaran Konfusianisme ini adalah Conficius atau
Konficius. Konfusianisme adalah kemanusiaan, suatu filsafat atau sikap yang
berhubungan dengan kemanusiaan, tujuan dan keinginannya, daripada sesuatu yang
bersifat abstrak dan masalah teologi. Dalam Konfusianisme manusia adalah pusat
daripada dunia. Manusia tidak dapat hidup sendirian, melainkan hidup
bersama-sama dengan manusia yang lain. Bagi umat manusia, tujuan akhirnya
adalah kebahagiaan individu. Kondisi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan
adalah melalui perdamaian.
Ajaran Konfisius pertama ditemukan oleh Conficius yang lahir pada tahun
551 sebelum Masehi di kabupaten Lu (sekarang berada di provinsi Shantung di
Cina bagian Timur). Bapaknya meninggal saat ia masih berumur 3 tahun. Ibunya
miskin. Conficius terpaksa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keuangan.
Penderitaan dan kemiskinan sejak muda membuat Conficius merasa ia memiliki
ikatan dengan kebanyakan orang.
Konfusianisme menggunakan istilah Dao. Istilah ini digunakan dalam
hal-hal yang berhubungan dengan moralitas, perangkat peraturan, atau asas
perilaku dalam pengertian sosial dan politik. Dao berarti cara hidup atau tatacara
kehidupan insani (yang berhubungan dengan manusia). Ia juga menekankan tatacara
manusia harus sesuai dengan tatacara alam. Hubungan seorang manusia dengan
manusia lainnya juga harus mengikuti tatacara kehidupan yang telah dibangun
oleh orang bijak kuno berdasarkan tatacara alam (Dao).
Ia memiliki pandangan hidup tentang manusia yaitu Kodrat manusia
merupakan pemberian langit. Hukum kodrat manusia ini tidak terlepas dari alam
semesta. Hukum yang diterapkan pada manusia ini sama dengan hukum yang mengatur
pergantian musim dan proses alam yang lain. Menurut Conficius, manusia
merupakan fungsi dari alam, artinya manusia harus berpatokan kepada alam dalam
menjalani kehidupan.
Alam sudah dapat mengatur dirinya sendiri. Manusialah yang menjadi
penyebab kemungkinan terjadinya kekacauan alam. Alam sudah memiliki
aturan-aturan bagi bekerjanya alam dan juga bagi perilaku manusia sebagai
bagian alam. Manusia sebagai fungsi dari alam seharusnya mengikuti
aturan-aturan itu. Jika manusia dapat mengikuti aturan-aturan itu, maka alam
akan selalu dalam keadaan tenang. Manusia pun dapat mempertahankan posisinya
yang baik di dalam dunia dan terhindar dari kekacauan. Jika manusia tidak dapat
mengikuti aturan-aturan itu dan malah berbuat seenaknya, maka alam akan kacau.
Tujuan manusia menurut Konfusianisme adalah mencapai keharmonisan ataupun
keseimbangan. Keharmonisan dengan alam dan juga keharmonisan dengan sesama
manusia.
3.
Legalisme
Aliran Legalisme (fajia) adalah aliran yang menitikberatkan pada sistem
pemerintahan. Para penganut fajia banyak yang mengabdikan dirinya pada kerajaan
Qin, seperti Shang Yang, dan kemudian Han Feizi serta Li Si yang mengabdi pada
kaisar Qin Shihuangdi.
Dalam kitab Han Feizi, diterangkan secara gamblang bahwa kaum moralis
(yang diwakili oleh kaum Konfusius) mustahil cocok dengan kaum legalis.
Pemikiran ini dapat dianalogikan dengan kisah tombak sakti yang sanggup
menembus segalanya dan perisai sakti yang tidak dapat ditembus oleh apapun.
Fajia dipopulerkan oleh Xunzi (Xun Qing) dan banyak penganut
Konfusianisme yang beralih pada legalisme karena beranggapan bahwa aliran
filosofi ini lebih cocok untuk mengatur negara. Zi Xia dan Wuzi (Wu Qi) adalah
dua contoh penganut Konfusianisme yang kemudian berpindah menganut legalisme.
Wu Qi adalah salah seorang tooh menarik dari negeri Lu yang hidup pada masa
perang antar negeri. Saat masih kanak-kanak, ia lari dari rumah karena ditegur
ibunya akibat bertingkah ceroboh. Ia bersumpah tidak akan pulang kerumah
sebelum berhasil menjadi panglima tertinggi atau perdana menteri. Wu Qi pernah
pula diusir oleh gurunya karena dianggap kurang berbakti pada orang tua, yakni
tatkala ibunya meninggal, ia hanya
menangis sebentar dan setelah itu kembali menekuni bukunya seoalah-olah tidak
terjadi suatu apapun. Suatu ketika negeri Lu diserang oleh Qi, tetapi raja
masih ragu-ragu untuk mengangkat Wu Qi sebagai panglima tertinggi karena
isterinya masih kerabat raja Qi. Demi memperoleh jabatan yang didambakannya
itu, Wu Qi memenggal kepala isterinya dan mempersembahkannya pada raja Lu. Sang
raja sebenarnya kurang begitu senag dengan tindakan Wu Qi ini, tetapi ia
menyadari orang seperti Wu Qi sangat mungkin akan membelot ke pihak lain bila
tidak mendapat apa yang diinginkannya. Raja kemudian mengangkatnya sebagai
panglima tertinggi dan ternyata Wu Qi memang berhasil membuktikan kemampuannya
memukul mundur serbuan Qi. Namun, tokoh eksentrik yang terbiasa membangkitkan
kemarahan majikannya ini pada akhirnya harus hengkang ke negeri lain. Mula-mula
ia pergi ke negeri Wei dan setelah itu
Chu. Raja Chu Daowang mengangkatnya menjadi perdana menteri dan Wu Qi melakukan
berbagai reformasi, seperti:
• Mendasarkan pemerinth atas
hukum yang kuat.
• Merampingkan birokrasi
• Penghapusan
pewarisan gelar bangsawan setelah keturunan yang ketiga dan
mengalihkannya pada para prajurit yang telah berjasa bagi negara.
Sebagai hasil reformasi Wu Qi itu, Chu dengan segera menjadi negara
yang kuat dan ditakuti. Tetapi, ketika raja mangkat, para bangsawan yang
kehilangan gelarnya memanfaatkan hal itu untuk balas dendam. Para bangsawan
mulai masuk ke istana dan mengejar Wu Qi hingga ke kamar-kamar istana. Dengan
keadaan terluka parah, Wu Qi masuk ke ruangan tempat jenazah almarhum raja
ditempatkan dan memeluknya erat-erat, sehingga akhirnya tubuh sang raja juga
tertancap anak panah. Tindakan Wu Qi ini mungkin sulit dimengerti. Namun,
segalanya akan menjadi jelas tatkala kita meninjau kembali undang-undang yang
sebelumnya pernah dibuat oleh Wu Qi, yang menyatakan bahwa barang siapa yang
merusak tubuh raja dapat dikenai hukum mati. Pengganti raja Chu menjalankan
undang-undang ini dan menghukum mati para bangsawan itu, demikianlah, Wu Qi
berhasil membalaskan dendam kematiannya sendiri bahkan ketika ia sudah wafat.
Secara umum, legalisme membahas 3 faktor pokok dalam seni memerintah.
• Fa atau hukum ( pemberian
penghargaan dan hukuman)
• Shu atau seni/teknik
mengawasi
• Shi atau wewenang / kekuasaan
Prinsip ini tetap digunakan oleh Liu Bang, pendiri dinasti Han (yakni
dinasti yang memerintah setelah Qin) meskipun pada dasarnya ia menganut
Konfusianisme. Kita dapat melihat bahwa sistem manajemen modern juga menerapkan
prinsip-prinsip ini. Penerapan fa atau hukum dalam perusahaan, dapat berwujud
aturan perusahaan, kesepakatan kerja bersama, dan lain sebagainya. Seni
pengawasan atau shu pada perusahaan modern adalah berupa sistem supervisi yang
rapi. Dan pemantauan kualitas (quality control) termasuk di dalamnya. Kekuasaan
atau wewenang (shi) pada manajemen modern dapat diwujudkan dalam bentuk sistem
atau hierarki manajerial perusahaan. Penetapan struktur organisasi perusahaan
adalah wujud pengaturan kekuasaan atau wewenang ini.
Kerajaan Qin memang dapat dikatakan sebagai penganut fanatik paham
legalisme. Perdana menteri Li Si yang membantu Qin Shihuang ( Ying Zheng) juga
penganut fajia. Han Feizi, rekan Li Si, sama-sama penganut legalisme. Hanya
saja karena iri dengan karier rekannya itu, Li Si memfitnah Han Feizi hingga
dijatuhi hukuman mati.
4.
Mohisme
Mohisme dicetuskan oleh Mo Tzu (479-381 SM). Mohisme sangat mirip
dengan Utilitarianisme. Utilitarianisme
berpandangan bahwa tolak ukur kebaikan adalah kegunaan dari sesuatu tersebut.
Semakin berguna maka semakin baik.
Mo Tzu menerapkan prinsip yang dia namai Cinta Universal (Chien Ai).
Berbeda dengan Konfusius, Mo Tzu menegaskan kita harus medahulukan orang lain
dari pada orang tua. Agar Cinta Universal terwujud, maka harus di terapkan 2
sanksi yaitu sanksi negara dan sanksi agama. Sanksi negara mengatur dalam hal
hidup bernegara. Sedangkan sanksi agama mengatur dalam hal yang berkaitan
dengan Tuhan. Mo Tzu juga berpandangan bahwa Tuhan memiliki sifat Cinta
Universal.
Dalam urusan pemerintahan, Mo Tzu berpandangan pemerintah harus demi
warga. Akan tetapi pemerintahan diserahkan kepada orang orang yang cakap
dibidangnya. Dia melandasi argumennya dengan silsilah raja Yao-Shun-Yu, yang
menerapkan sistem pemerintahan demi warga.
Dalam hal menciptakan perdamaian, Mo Tzu berpendapat terdapat 2 cara
untuk meciptakan perdamaian yaitu secara persuasif dan defensif. Persuasif
berarti mengajak untuk mengikuti Cinta Universal. Sedangkan defensif berarti
mempertahankan eksistensi Cinta Universal dengan menggunakan sanksi-sanksi yang
telah di jelaskan sebelumnya.
Menurut Mo Tzu, Emosi haruslah ditekan dan dibuang jauh-jauh. Sehingga
hidup haruslah rasional dan efektif. Berbeda dengan konfusianisme, justru
Mohisme menganggap musik itu hal yang sia-sia dan upacara adat adalah hal yang
kuno maka keduanya dibuang jauh-jauh.
Menurut Mo Tzu, setiap orang harus meniru atasannya hingga mencapai
puncak. Contoh: Warga negara harus meniru mentri, mentri harus meniru raja,
raja harus meniru Tuhan. Tuhan merupakan puncak.
Sementara itu, Mo Tzu berkata bahwa Demokrasi itu tidak baik. Ini di
karenakan tidak semua orang cakap. Maka
hanya beberapa orang saja atau yang cakap saja yang boleh berkecimpung dalam
bidang yang dikuasainya.
Yang terakhir untuk masalah nilai kebenaran, Mo Tzu berpandangan
kebenaran itu harus mencakup 3 syarat. Pertama adalah Koheren atau memiliki dasar
yang kuat. Kedua adalah Koresponden atau sudah banyak orang yang setuju. Ketiga
adalah Pragmatis atau bisa diterapkan.
0 komentar:
Posting Komentar