Isu di Cina

Menengok Hubungan Taiwan-China: Musuh Tapi Mesra
Jumat, 06/11/2015 08:57

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou akan bertemu untuk pertama kalinya sejak kedua negara berpisah lebih dari 60 tahun lalu. Statusnya, Cina dan Taiwan masih bertikai, namun belakangan dalam praktiknya hubungan keduanya kian mesra dengan kerja sama yang terus meningkat.

Sabtu mendatang di Singapura adalah kali pertama pertemuan kedua kepala negara berlangsung. Sebelumnya, pertemuan antara pemimpin Taiwan dan Cina terjadi tahun 1945. Saat itu Ketua Kuomintang Chiang Kai-sek bertemu dengan pemimpin Partai Komunis Mao Zedong usai berakhirnya penjajahan Jepang di akhir Perang Dunia II. Tahun 1949, Taiwan memisahkan dari Cina.

Mengutip CNN, Chiang dengan partainya, Partai Nasionalis atau Kuomintang kalah dalam perang saudara melawan pasukan Partai Komunis, dan kabur ke Taiwan, pulau di tenggara Cina daratan. Sebelumnya, Kuomintang memerintah Cina setelah dinasti kekaisaran terakhir negara itu ambruk dengan nama Republik Cina.

Di tahun kekalahan Kuomintang, Partai Komunis mendirikan negara Republik Rakyat Cina yang dideklarasikan oleh Mao di Gerbang Tiananmen, Beijing. Sejak saat itu, dua pemimpin memerintah terpisah.

Hubungan kedua wilayah menjadi sangat rumit. Taiwan dan Cina sama-sama masih menganggap diri satu negara, namun dalam praktiknya terpisah sejak tahun 1949. Taiwan dan Cina sama-sama menyebut diri "Cina". Hingga tahun 1971, Taiwan memegang kursi perwakilan Cina di PBB sebelum kalah pengaruh dari Partai Komunis di Beijing.

Amerika Serikat yang sejak lama menentang pemerintahan komunis Cina selama bertahun-tahun hanya membuka kantor perwakilan di Taiwan. Tapi pada 1979 saat menormalisasi hubungan dengan Beijing, Washington memindahkan kedutaan besar ke Cina dan menutup perwakilan diplomatik di Taiwan.

Secara teknis, Cina dan Taiwan masih dianggap satu negara oleh pihak Kuomintang dan Partai Komunis. Hal yang sama juga diterapkan melalui hubungan diplomatik, atau yang dikenal dengan "Satu Cina."

Kebijakan ini membuat banyak negara harus memilih, hubungan diplomatik dengan Taiwan atau Cina, yang biasanya dimenangkan Beijing. Namun hal ini tidak menyurutkan kerja sama diplomatik walau dengan wujud lain. Biasanya, Taiwan memiliki kantor dagang dan ekonomi di negara-negara lain, yang berfungsi mirip kedutaan besar.

Konflik kecil

Dalam sejarahnya, hubungan Cina-Taiwan sangat buruk, diwarnai dengan konflik-konflik kecil yang dikhawatirkan akan menjadi perang terbuka. Apalagi banyak pihak di Taiwan yang mendesak deklarasi kemerdekaan. Namun Cina tahun 2005 telah menerbitkan undang-undang, berisikan ancaman aksi militer jika Taiwan mengumumkan merdeka. Konon, rudal Cina saat ini juga sudah mengarah ke Taiwan, siap kapan pun ditembakkan.

Tapi dalam 20 tahun terakhir, hubungan mulai membaik. Walau secara diplomatis berseteru, namun dalam bidang ekonomi keduanya akrab, terutama setelah Ma Ying-jeou memimpin tahun 2008.

Taiwan menanamkan investasi miliaran dolar di Cina, yang merupakan rumah bagi 1,3 juta orang dengan perekonomian kedua terbesar dunia. Jutaan turis dari Cina juga sering berlibur ke Taiwan, kendati petugas imigrasi kedua negara saling menolak paspor. Bahkan kini sudah ada penerbangan langsung dari Cina ke Taiwan, negara berpopulasi 23 juta jiwa.

Menurut laman Vox.com, setidaknya ada dua alasan mengapa hubungan dua negara kian mesra.

Alasan pertama, adalah saling klaim negara sudah sangat melelahkan dan perang dengan mengerahkan militer akan memakan banyak biaya dan korban jiwa. Taiwan juga tidak mungkin bergabung dengan Cina, karena Taiwan memiliki standar hidup yang tinggi dan menjunjung kebebasan politik.

Alasan kedua adalah demokrasi. Sejak dibentuk 1949, Taiwan adalah negara demokratis dengan pemilihan umum yang terbuka dan menentang segala bentuk pengekangan. Tahun lalu saja, ratusan ribu warga Taiwan turun ke jalan memprotes perjanjian dagang dengan Cina.

Suka tidak suka, rakyat Taiwan harus menyadari bahwa Cina adalah mitra dagang terbesar mereka. Volume perdagangan kedua negara tahun lalu mencapai US$198 miliar.

Membicarakan apa?

Pertemuan terakhir antara Mao dan Chiang 70 tahun lalu sebelum dimulainya kembali babak baru perang saudara adalah soal persatuan Cina. Namun kedua pihak berkeras menerapkan ideologi masing-masing sehingga terpecah belah.

"Bagi saya kemenangan berarti dimulainya pembangunan sejati--ekonomi dan politik--bebas dari campur tangan luar," kata Chiang saat itu, dikutip dari TIME.

Nasionalis dan Komunis Cina yang lama berseteru memutuskan bersatu melawan penjajah Jepang. Setelah Jepang kalah perang tahun 1945, perang saudara berlanjut yang berujung kekalahan Kuomintang.

Dalam pertemuan antara Xi dan Ma Sabtu besok di Singapura, pembicaraan bukan soal perdamaian dan perbaikan hubungan kedua negara, tapi lebih kepada bentuk simbolis menurunnya ketegangan Cina-Taiwan.

Bagi Ma, membaiknya hubungan dengan Cina adalah salah satu prioritas utamanya, walau langkah ini membuat popularitasnya menurun di dalam negeri. Masa jabatannya akan habis Januari mendatang, dan ini akan menjadi peninggalan bersejarah Ma sebagai pemimpin negara.

Bagi Xi juga demikian, pertemuan ini akan menjadi tolok ukur hubungan dengan Taiwan di masa mendatang, bahkan jika nanti jiran Cina itu dipimpin oleh Partai Progresif Demokratis yang bersikap anti-Cina.

Sebelumnya, berdasarkan diplomat Asia yang diwawancara New York Times, Ma telah berkali-kali meminta bertemu dengan Xi, dan ditolak pada awalnya. Bisa jadi, kata sumber itu, kali ini Xi akan memberikan sesuai pada Ma yang dinilainya menerapkan kebijakan pro-Cina.



















Implikasi Kerjasama Cina-Indonesia: Masuknya Ribuan Pekerja Cina di Banten dan Papua
04 Juli 2015 15:01:01

Permintaan Jokowi lewat pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014 agar negara-negara Asia Pasifik datang dan menanamkan modalnya di Indonesia ditanggapi dengan sangat antusias oleh Cina. Cina kemudian langsung membuat rencana investasi besar-besaran di Indonesia. Penjajakan investasi itu dikonkritkan oleh Presiden Jokowi lewat kunjungannya ke Beijing pada tgl 25-27 Maret 2015 yang lalu. Dalam kunjungan itu, Presiden Jokowi berhasil menyepakati delapan nota kesepahaman Indonesia-China.

Kedelapan nota kesepahaman itu adalah kerjasama ekonomi antara Kemenko Perekonomian RI dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC, kerjasama Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC, kerjasama maritim dan SAR antara Basarnas dan Kementerian Transportasi RRC, Protokol Persetujuan antara Pemerintah RRC dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara, Kerja Sama Antariksa 2015-2020 antara LAPAN dan Lembaga Antariksa RRT, kerjasama saling dukung antara Kementerian BUMN dan Bank Pembangunan China Pembangunan, kerjasama antara pemerintah RRC dan RI dalam pencegahan pengenaan pajak ganda kedua negara dan kerja sama bidang industri dan infrastruktur antara Kementerian BUMN dan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional RRC.

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Cina Liu Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di Auditorium FISIP UI, Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Cina dalam berbagai bidang. Menurut Liu Yandong kala itu, Cina akan lebih mempererat kerja sama dengan Indonesia di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora. Kerjasama bilateral Indonesia-Cina sangat penting mengingat jumlah penduduk kedua negara sangatlah besar mencapai 1.6 miliar jiwa atau seperempat dari total penduduk dunia.

Dalam mewujudkan kedelapan nota kesepahaman antara Indonesia-Cina itu ada beberapa implikasi yang memunculkan isu-isu strategis terutama bagi Indonesia. Isu-isu itu sangat sensitif dan bisa membahayakan Indonesia ke depan. Isu-isu strategis itu adalah:

Pertama, migrasi besar-besaran 10 juta (apakah 10 juta pelancong sebagaimana dijelaskan Jokowi?) warga Cina ke Indonesia. Migrasi itu terkait dengan investasi besar Cina di Indonesia. Kedatangan warga Cina berpeluang memunculkan isu-isu politik yang luar biasa dahsyat. Selain itu akan menimbulkan persaingan budaya antara Warga Cina dengan Pribumi. Terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa yang lebih dominan. Ini menjadi sumber masalah baru bagi bangsa Indonesia ke depannya. Mengingat jumlah 10 juta jiwa itu (ini kalau benar, dan hanya bisa dibuktikan kebenarannya beberapa tahun kemudian) bukanlah suatu jumlah yang sedikit, dikhawatirkan menjadi strategi Cina untuk menguasai Indonesia. Secara pelan memasukkan warga negara Cina ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada perannya di sektor-sektor strategis di Indonesia digantikan warga Cina. Hingga akhirnya pemilik Indonesia bukanlah orang-orang dari keturunan Nusantara, tapi adalah orang-orang Cina.

Kedua, Program Jokowi yang meminjam duit Cina sebanyak 520 triliun atau USD 40 miliar dengan kedok investasi untuk membiayai sejumlah BUMN seperti proyek kereta api di berbagai daerah di Indonesia, pembiayaan listrik 35 ribu MW, membuat posisi Indonesia berada di tubir jurang kehancuran. Sekarang ini kondisi perekonomian Indonesia belum menunjukan perubahan positif secara signifikan. Jika nanti terjadi krisis dan tidak mampu bayar, maka secara otomatis perusahaan-perusahaan BUMN akan jatuh kepada tangan asing. Dengan kata lain, jika terjadi krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998, maka BUMN-BUMN Indonesia akan jatuh ke tangan Cina.

Ketiga, Dana yang digelontorkan oleh Cina dengan kedok investasi, selalu terlampir syarat-syarat terselubung. Salah satu syarat yang sudah terlaksana dan disetujui oleh Jokowi adalah bahwa pelaksanaan seluruh mega proyek Cina di Indonesia mengharuskan tenaga kerjanya didatangkan dari Cina. Persetujuan ini kemudian menjadi nyata ketika mulai datang ribuan tenaga kerja dari Cina ke Indonesia. Kedatangan ribuan tenaga kerja dari Cina (ini dikecam oleh anggota DPR) dan ditempatkan di Papua dan Banten, bertolak belakang dengan tindakan PHK yang terjadi di berbagai daerah. Di sisi lain Pemerintah mengizinkan TKA bekerja di Indonesia dan diperparah lagi Pemerintah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Pasalnya, hal tersebut melanggar UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri No 15 Tahun 2015 tentang Jabatan diduduki oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dibuat oleh M. Hanif Dhakiri sendiri.

Regulasi ketenagakerjaan bahwa TKA yang bekerja di Indonesia harus sesuai dengan keahlian dan menempati jabatan tertentu serta bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendambingnya yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Namun, faktanya TKA seperti di Lebak Provinsi Banten dan Manokwari Provinsi Papua sebagian besar adalah buruh. Ini berarti pemerintah sama saja menyakiti rakyat dengan mempersempit peluang kerja, di saat angka pengangguran di Indonesia masih tinggi. Pemerintah kelihatan tunduk pada kemauan investor. Akibatnya, Menteri Hanif kelabakan atau salah tingkah menjelaskan kedatangan ribuan buruh asal Cina itu. Lalu bagaimana pihak imigrasi, kepolisian dan Menteri Hanif sendiri bertindak tegas atas kedatangan warga Cina itu, sementara kedatangan mereka itu adalah bagian dari konsekuensi pembukaan keran investasi asing oleh Jokowi?

Keempat, ijin kepemilikan properti oleh warga asing di Indonesia. Percepatan proyek pembangunan hotel, apartemen, menara kondominium dan properti lainnya adalah untuk menampung 10 jutaan warga negara Cina yang akan segera datang ke Indonesia. Bukan sekedar berkunjung, tapi menetap selamanya. Dan tepat sekali kebijakan yang akan diambil Presiden Jokowi, dimana akan segera memberikan ijin kepada asing untuk memiliki properti di Indonesia. Dengan begitu warga negara Cina yang berdatangan akan secara sah memiliki properti di Indonesia. Memudahkan mereka untuk juga secara sah menjadi warga negara Indonesia. Ada infromasi dari berbagai media bahwa puluhan ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) indonesia telah dipalsukan untuk mememudahkan warga negara Cina yang akan masuk ke Indonesia. Dengan memiliki properti dan KTP, akan mudah lagi bagi mereka untuk mengusai Indonesia sepenuhnya. Ini bisa berbahaya.

Jika ditarik benang merah atas kebenaran migrasi 10 jutaan warga negara Cina (sebelumnya dianggap ngawur atau hoax lalu dijelaskan hanya sebagai pelancong) menjadi pelan-pelan terang benderang kebenarannya. Sebelumnya Jokowi mengundang asing untuk berinvestasi di Indonesia dengan mempermudah syarat-syarat investasi. Lalu Jokowi berkunjung ke Beijing, terus dibalas oleh Wakil PM Liu Yandong. Investasi Cina pun di mulai di Indonesia dengan membangun rel kereta api di beberapa tempat dan membangun pabrik semen di Papua. Datanglah ribuan pekerja Cina dan ditempatkan di Banten dan Papua (ini juga fakta, telah didengar oleh DPR). Terus Jokowi mewacanakan kepemilikan properti oleh WNA. Maka agak sulit dibantah kebenaran migrasi 10 juta warga Cina itu.


Jadi implikasi kerjasama Cina-indonesia itu memang bisa menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran dari Cina. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis. Sebagai contoh kedatangan buruh migrasi dari Cina yang ditempatkan di Banten dan Papua telah membuat miris publik di tengah tingginya pengangguran di Indonesia. Jokowi telah berkomitmen untuk menarik investasi asing ke Indonesia demi mempercepat pembangunan. Namun di balik investasi itu selalu saja ada syarat-syarat terselubung seperti harus dikerjakan oleh warga negara si pemilik investasi. Inilah yang menjadi PR Jokowi, cerdas menarik investasi asing tanpa mengorbankan rakyat Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar